Kebijakan Jumat Bersarung ASN Jawa Tengah: Strategi Kebudayaan yang Menyasar Kebangkitan UMKM Tekstil Lokal
Rabu, 3 Desember 2025 | 13:00 WIB

LINK UMKM - Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mewajibkan ASN laki-laki menggunakan sarung batik setiap hari Jumat menjadi perhatian publik karena tidak hanya menyentuh aspek pelestarian budaya, tetapi juga diarahkan untuk memperkuat perekonomian lokal. Dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor B/800.1.12.5/83/2025 tertanggal 31 Oktober 2025, sarung batik ditetapkan sebagai bagian dari Pakaian Dinas Harian (PDH) pada Jumat. Ketentuan tersebut melengkapi aturan penggunaan batik, lurik, dan tenun yang selama ini telah melekat pada identitas pegawai pemerintah di daerah tersebut.
Kebijakan ini tidak lahir dalam ruang kosong. Pemerintah daerah memetakan kebutuhan untuk memperluas dampak ekonomi dari sektor tekstil lokal berbasis budaya. Selama ini, motif batik dan lurik telah menjadi produk dominan yang memperoleh pangsa pasar di kalangan pegawai negeri maupun masyarakat umum. Namun, sarung batik dipandang sebagai potensi ekonomi yang belum tergarap secara optimal, padahal banyak UMKM di Jawa Tengah bergerak pada produksi sarung etnik berbahan batik, lurik, dan tenun.
Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, menilai kebijakan ini tidak hanya bersifat seremonial. Dengan jumlah ASN Jateng mencapai 60.000 orang, termasuk PPPK dan guru, penerapan atribut terbaru tersebut membuka peluang konsumsi rutin yang berpotensi menjadi pasar besar bagi UMKM tekstil daerah. Apabila seluruh ASN membeli sarung batik dari produsen lokal, maka perputaran uang akan terkonsentrasi pada sektor produksi tekstil UMKM, bukan pada produk pabrikan atau impor. Dari skala konsumsi saja, ribuan permintaan baru diharapkan membantu menjaga siklus produksi, stok bahan, dan penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut.
Selain itu, pemerintah daerah memproyeksikan efek multiplier secara bertahap. Konsumsi oleh ASN diharapkan memicu kesadaran masyarakat terhadap sarung batik sebagai identitas budaya dan pakaian modern yang layak dikenakan di ruang kerja. Dengan meningkatnya adopsi dari kelompok pekerja formal, sarung batik berpeluang masuk ke pasar retail yang lebih luas, baik untuk kebutuhan pakaian harian maupun seragam institusi tertentu.
Namun, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada kesiapan rantai pasok industri kecil tekstil. Tantangan yang perlu diantisipasi mencakup ketersediaan bahan baku, konsistensi kualitas, kemampuan produksi massal, hingga diferensiasi harga agar UMKM mampu menyesuaikan diri dengan permintaan yang meningkat tanpa mengorbankan standar mutu. Di sisi lain, digitalisasi pemasaran menjadi faktor pendukung penting agar pelaku UMKM sarung batik dapat menjangkau konsumen secara efisien, baik offline maupun online.
Kebijakan “Jumat Bersarung” memadukan tiga orientasi yang saling berkaitan: penguatan identitas budaya, pengembangan ekonomi lokal, dan pembukaan pasar baru bagi UMKM tekstil. Apabila implementasi diikuti dengan pengawasan yang konsisten dan dukungan fasilitasi pemasaran, kebijakan ini berpotensi menjadi model pengembangan ekonomi berbasis budaya yang dapat direplikasi oleh pemerintah daerah lain di Indonesia.
RAT/NNA



